13 November 2007

Biografi Jurnalistik Eko Sutriyanto

Berkomukasi dengan banyak orang dan dikenal banyak orang”.

Itulah yang melatarbelakangi saya menyukai jurnalistik sampai akhirnya terjun benar-benar bercimpung dalam jurnalistik. Untuk mencapai profesi ini tidaklah mudah. Perlu usaha dan mengambil kesempatan yang ada mumpung saat masih muda. Pengalaman jurnalistik yang tertuang dalam blog ini saya harapkan bisa menjadi pemicu bagi kalangan muda yang suka jurnalistik dan ingin terjun ke dunia jurnalistik yang penuh tantangan ini.

Masih ingat dalam memori otak saya, saat saya duduk di bangku Sekolah Menengah Umum (SMU) Marsudi Luhur Yogyakarta kelas I tahun 1991, untuk pertamakalinya tulisan saya termuat di Harian Bernas Yogyakarta di salah satu rubrik Surat Pembaca. Kolom nya saat itu Dari Anda. Bukan artikel, opini ataupun berita yang saya buat ketika itu, namun hanya sebuah permintaan alamat Himpunan Seni Fotografer Amatir (HISFA).

Memang saat itu lebih saya tertarik fotografi dibandingkan dengan menjadi wartawan. Namun dalam perkembangannya saya kembali menuliskan di rubrik yang sama tentang sebuah tulisan tentang kejengkelan atau lebih tepatnya keluhan saya terhadap ulah para awak bus kota (saat itu memang saya hanya mampu naik bus kota) yang mengenakan tarif Rp 150 gara-gara saya memakai jaket, padahal tarif siswa saat itu hanyalah Rp 100.

Dua kali dimuat di Harian Bernas itu akhirnya mendorong aku suka jurnalistik. Selepas SMU Marsudi Luhur, saya ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Saat orang tua menanyakan keinginan saya kuliah dengan mantap saya ingin ke jurusan Sastra Indonesia. Harapannya, bisa menjadi jurnalis tentunya. Namun niat mulai menjadi seorang jurnalis terganjal. Orang tua saya tidak menginginkan aku menjadi seorang jurnalis.

“Lah kalau kamu sakit tidak bisa bikin berita kamu mau makan apa. Sudah kamu ambil jurusan Akuntansi. Teman ayah mau bikin perusahaan di Bali. Kamu bisa bantu di sana,” kata almarhum ayah.

Lantas saya mengikuti UMPTN UGM. Pilihan pertama Akuntansi sementara pilihan kedua Sastra Indonesia. Karena tidak begitu pintar saya gagal UMPTN. Akhirnya dengan urutan pilihan yang sama saya mendaftar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan lolos Prodi Akuntansi.

Setelah setahun, tepatnya tahun 1995 majalah kampus USD, Natas membuka pendaftaran sebagai reporter kampus. Itung-itung sebagai pelampiasan gagal di Sastra Indonesia, saya masuk dan dinyatakan lolos setelah dipelonco untuk berjalan kaki dari Candi Prambanan sampai kampus USD di Mrican yang berjarak sekitar 30 km.

Bergabung menjadi tim redaksi Natas cukup menyenangkan. Bukan karena apa, selain bisa nulis berkat masuk Natas, saya mendapatkan kesempatan mendapatkan bantuan khusus Rp 25 ribu per bulan. Saat itu harga bensin masih Rp 700. Cukup buat isi tangki sepeda motorku Honda 70 yang pemakaian bensin 2 liter untuk 1 minggu. Yang lebih menyenangkan, dari keaktifan dalam majalah kampus ini saya beberapakali berkeliling untuk mengikuti pelatihan. Sertifikat dan Sertifikat yang aku peroleh. Semua aku kumpulkan sampai tahun 1997 saat bandai krisis datang yang mengganggu kelangsungan tabloit Natas hingga macet.

Setahun tidak terbit karena badai ekonomi, rektor USD saat itu, Sastraprateja meminta Natas segera terbit. “Kalau tidak bubarkan saja UKM Penerbitan (yang menerbitkan Natas),” kata dia. Tidak ingin mati begitu saja, saya dan Batoe salah seorang awak yang masih ada berusaha menerbitkan Natas.

Alhasil, Natas terbit kembali. UKM Penerbitan Kampus tidak jadi dibrendel rektorat. Segera kita melakukan rekrutmen hingga mendapatkan sekitar 10 orang awak yang kemudian meneruskan penerbitan. Selang setahun kemudian saya lulus dari USD. Keberuntungan berpihak padaku.

Usai pendadaran, Harian Bernas membuka lowongan wartawan. Dengan modal berbagai sertifikat yang aku miliki aku akhirnya dinyatakan lolos menjadi wartawan Bernas bersama empat orang temanku lainnya.

Mereka adalah Sigit Rahmawan Abadi (sekarang wartawan BPost Banjarmasin), I Nyoman Wiryadinata (sekarang reporter Trans TV di Bali), Aris (yang akhirnya mengundurkan diri dari Bernas) dan Clemon (sekarang reporter Trijaya FM di Yogyakarta). Begitu masuk Bernas aku ditempatkan di Cilacap Jawa Tengah.

Enam bulan aku di tempatkan di sana. Setelah itu saya dimutasi ke Gunung Kidul Yogyakarta. Di daerah yang dikenal dengan kekeringannya itu aku berkarya selama dua tahun. Setelah itu saya dimutasi di kota dipasrahi liputan LSM, kuliner dan sebagainya. Setelah 1 tahun enam bulan, saya dimutasi lagi ke Gunung Kidul sampai akhirnya bulan Agustus 2003 akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk berkarya di Banjarmasin.

Sesampainya di Banjarmasin saya di tempatnya di Harian Metro Banjar (grup Banjarmasin Post) sampai saat ini. Tepatnya 12 Agustus 2007 ini saya genap empat tahun merantau dan berkarya di harian Metro Banjar untuk wilayah liputan Hukum Kriminal di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dan sekarang di Banjarmasin. Salam

Tidak ada komentar: