13 November 2007

Jadi Jurnalis Jangan Aji Mumpung

Beberapa waktu lalu saya pernah berkenalan dengan wanita yang tiba-tiba muncul di Polres Banjar, tempat biasa saya nongkrong setiap pagi. Layaknya mendapatkan teman baru akupun memperkenalkan diri sebagai wartawan Metro Banjar (Grup Banjarmasin Post). Belakangan saya tahu, ia ingin sekali ketemu denganku. Bukan kenapa-kenapa. Ia penasaran dengan tulisan-tulisan kriminalku yang dimuat di Harian Metro Banjar. “Saya senang berkenalan dengan kamu. Saya sering baca tulisanmu di Metro,” ujar dia. Untuk menjamu kedatangan teman baru, akupun mengajaknya ke kantin Mapolres yang berada persis di belakang gedung. Pesan dua soto dan es teh. Setelah selesai kita pun makan dan akupun memperkenalkannya pada pejabat Polres Banjar. Sepekan setelah perkenalan itu ia sudah tidak pernah muncul lagi di Mapolres Banjar. Belakangan aku mendengar ia mengundurkan diri karena tidak betah dengan dinamika perkerjaan sebagai seorang jurnalis.Tidaklah gampang menjadi seorang jurnalis apalagi di bagian Kriminal. Bisa dibayangkan setiap saat kita diminta harus bersiap-siap bekerja meliput. Bisa jadi saat seluruh masyarakat terlelap dalam tidur, kita justru harus keluar untuk meliput sebuah kejadian. Seorang teman saya punya pengalaman cukup menarik. Di tengah menunggu kelahiran anak sulungnya di rumah sakit, tiba-tiba terjadi kebakaran hebat di pasar Martapura. Karena merasa wilayah itu tanggungjawabnya ia meninggalkan sang istri demi mengejar sebuah berita kebakaran. Menjadi seorang jurnalis, setiap detik adalah stanby untuk bekerja. Inilah yang kurang disadari banyak jurnalis baru yang akhirnya memilih mundur daripada disuruh kerja malam. Pekerjaan sebagai jurnalis memang membutuhkan tenaga dan pikiran yang sangat ekstra. Kritik dan keluhanpun mengarah kepada calon istriku. Kendati di luar kota, tepatnya di Pontianak, ia pun sering protes ketika aku belum pulang. Nyaris setiap jam saat dia pulang mengajar di kampus Widya Dharma Pontianak, ia menanyakan keberadaanku. Pun lagi tengah asiknya bertelepon, ia pun memprotes karena aku harus meliput. Tugasku di bagian criminal memang tidak bias ditebak. Kapanpun harus siap keluar rumah. Kadang aku merasa, inilah sebenarnya seorang jurnalis. Perlu pemahaman orang dekat agar mampu menahani. Di samping itu semua, siapapun yang ingin menjadi seorang jurnalis, haruslah mempunyai motivasi dan berkeinginan yang kuat untuk memang menjadi jurnalis. Sederhananya, jadi jurnalis bukanlah aji mumpung sebelum mendapatkan pekerjaan. Sebenarnya yang lebih afdol dan kemudian awet menjadi jurnalis adalah aktivis di pers kampus. Catatan saya sejumlah rekan yang aku kenal, sebelum terjun ke dunia kerja sebagai jurnalis, mereka aktivis mahasiswa di kampusnya masing-masing. Bagi yang bercita-sita menjadi jurnalis tidak ada salahnya mengikuti kegiatan kampus yang sekira dapat mendorong atau memotivasi terjun secara total menjadi seorang jurnalis setelah lulus dari kuliah kelak. (*)

Tidak ada komentar: